Jakarta,-Besarnya kasus PHK berdampak pada peningkatan jumlah kasus klaim JHT BPJS Ketenagakerjaan. Namun, jumlah kasus klaim JHT justru tidak berbanding lurus terhadap kasus PHK. Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyebut 3 juta pekerja mengalami PHK karena pandemi Covid-19. Sedangkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat 5 juta pekerja, dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) 6,4 juta pekerja.
Perbedaan data tersebut di atas harus segera dikoordinasikan guna memitigasi langkah penanganan kasus PHK dan pelayanan klaim JHT BPJS Ketenagakerjaan. Jika tidak, dikhawatirkan akan bisa mengganggu kinerja BPJS Ketenagakerjaan utamanya dalam konteks menjaga solvabilitas dan likuiditas dana kelolaannya. Demikian disampaikan Hery Susanto Ketua Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP BPJS) melalui siaran pers di Jakarta, Senin 22/6/2020.
Menurut Hery Susanto, data valid terkait potensi jumlah pekerja korban PHK yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sangat dibutuhkan dalam menangani pelayanan klaim JHT. Hal ini berguna untuk menghitung ketersediaan dana yang mesti disiapkan BPJS Ketenagakerjaan untuk membayar klaim tersebut.
“Perbedaan data antara Kemnaker, Kemenkeu, KADIN dan BPJS Ketenagakerjaan terkait potensi pekerja korban PHK harus segera dikoordinasikan untuk mitigasi resiko pelayanan klaim JHT BPJS Ketenagakerjaan. Ilustrasi, jika data Kemenkeu yang digunakan yakni ada sekitar 5 juta orang pekerja korban PHK maka bisa diprediksi berapa dana yang harus disiapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk membayar klaim JHT,” katanya.
Hery mencontohkan, misalnya pada tahun 2020 ini, dari 5 juta orang pekerja korban PHK klaim JHT rerata mengajukan klaim sebesar Rp 10 juta maka BPJS Ketenagakerjaan harus menyiapkan dana minimal sebesar Rp 50 triliun untuk membayar klaim. Itu belum termasuk klaim jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM) dan jaminan pensiun (JP).
“Tentu saja untuk menyiapkan dana sebesar itu harus ada persetujuan dari pemerintah dalam hal ini Kemenkeu. Sebab, dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan berasal iuran peserta dan pengembangan dananya dialokasikan melalui instrumen fixed income (deposito dan surat utang), saham, reksadana dan sisanya pada investasi langsung (properti dan penyertaan),” kata Hery.
Sepanjang tahun 2019, pembayaran klaim BPJS Ketenagakerjaan mengalami peningkatan sebesar 21,2 persen atau mencapai Rp 29,2 triliun. Dengan perincian klaim untuk JHT mencapai Rp 26,6 triliun untuk 2,2 juta kasus, JKM sebanyak 31.300 kasus dengan nominal sebesar Rp 858,4 miliar. Lalu JKK sebanyak 182.800 kasus dengan nominal sebesar Rp 1,56 triliun, dan JP sebanyak 39.700 kasus dengan nominal sebesar Rp 118,33 miliar. Program JKK juga melaksanakan manfaat return to work (RTW) kepada 901 orang peserta dimana sebanyak 748 orang sudah kembali bekerja.
“Pembayaran klaim BPJS Ketenagakerjaan di tahun 2019 mencapai Rp 29,2 triliun. Bagaimana dengan kondisi yang akan terjadi hingga akhir tahun 2020 ini? Tentu dipastikan akan lebih besar dari data yang dialami sepanjang 2019, bisa dua, tiga kali lipat bahkan lebih,” tanya Hery Susanto.
Hery Susanto mengatakan dari sisi kepesertaan, tercatat 55,2 juta pekerja atau mencakup 60,7 persen dari seluruh pekerja Indonesia telah terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagaerjaan hingga akhir Desember 2019.
Di tahun 2020, pandemi Covid-19 dengan besarnya korban PHK ini mengikis jumlah kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Bahkan memacetkan jumlah iuran kepesertaannya akibat macetnya roda perekonomian publik.
“Faktor solvabilitas dan likuiditas dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan harus menjadi prinsip pengambilan kebijakan pelayanan klaim,” katanya.
Ia menilai bahwa penurunan target penerimaan hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan sudah terjadi sejak dua tahun terakhir yakni pada 2018 dengan capaian Rp 364 triliun dari target Rp 369 triliun, sedangkan pada tahun 2019 dicapai Rp 431 triliun dari target Rp 443 triliun.
Sepanjang tahun 2019, BPJS Ketenagakerjaan mencatat penambahan iuran sebesar Rp 73,1 triliun. Iuran tersebut ditambah pengelolaan investasi berkontribusi pada peningkatan dana kelolaan mencapai Rp 431,9 triliun pada akhir Desember 2019.
Hasil investasi nya sebesar Rp 29,2 triliun, dengan yield on investment (yoi) yang didapat sebesar 7,34 persen atau lebih tinggi dari kinerja IHSG yang mencapai 1,7 persen. Untuk alokasi dana investasi, BPJS Ketenagakerjaan menempatkan sebesar 60 persen pada surat utang, 19 persen saham, 11 persen deposito, 9 persen reksadana, dan investasi langsung sebesar 1 persen.
Investasi BPJS Ketenagakerjaan dilaksanakan berdasarkan PP No. 99 Tahun 2013 dan PP No. 55 Tahun 2015. Kedua beleid tersebut mengatur jenis instrumen-instrumen investasi yang diperbolehkan berikut dengan batasan-batasannya. Ada juga Peraturan OJK No. 1 tahun 2016 yang mengharuskan penempatan pada Surat Berharga Negara sebesar minimal 50 persen.
Kondisi pasar investasi global dan regional mempengaruhi hasil investasi yang diraih oleh BPJS Ketenagakerjaan.
“Kinerja IHSG pada akhir tahun 2019 mampu menorehkan pertumbuhan sebesar 2,18% ke level 6.329. Namun, IHSG pada 19/6/2020 tercatat di level 4942,28, turun tajam 1386,72. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap kinerja investasi saham yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan yang dipastikan turun drastis. Bagaimana langkah BPJS Ketenagakerjaan dalam menyikapi kondisi turun drastisnya IHSG?,” tanya Hery Susanto.
Ia menegaskan BPJS Ketenagakerjaan harus melakukan peninjauan penempatan dana investasi, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No. 25/2020 Tentang Tata Kelola BPJS. Ditegaskan dalam Perpres tersebut bahwa direksi wajib mengambil keputusan investasi secara profesional. “BPJS harus mengoptimalkan pengembangan dana investasi dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. Apakah hal itu sudah dilakukan dalam kondisi kekinian di tengah pandemi Covid-19?,” tanyanya lagi.
Hery Susanto mendesak direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk melakukan analisis terhadap risiko investasi serta rencana penanganannya dalam hal terjadi peningkatan risiko investasi; dan melakukan kajian yang memadai dan terdokumentasi dalam menempatkan, mempertahankan, dan melepaskan investasi yang dilakukan.
“Dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan di tahun 2020 dialokasikan pada instrumen fixed income (deposito dan surat utang) 71,4%, saham 19,09%, reksadana 9.34%, dan sisanya pada investasi langsung (properti dan penyertaan), ini harus dievaluasi segera,” katanya.
BPJS Ketenagakerjaan di tahun 2020 menargetkan dana kelolaan mencapai Rp 543,6 triliun. Target jumlah tersebut meningkat 25,8% dari realisasi tahun 2019 yakni Rp 431,9 triliun. Hal ini dengan harapan terjadi penambahan 23,2 juta peserta baru dan penerimaan iuran Rp 87,1 triliun di tahun 2020.
Namun menurut Hery Susanto justeru BPJS Ketenagakerjaan di tahun 2020 akibat pandemik Covid-19, kinerja investasinya anjlok, pelayanan klaim online selalu penuh, iuran kepesertaan macet, jumlah kepesertaan merosot akibat sedikit yang masuk alih-alih banyak yang keluar.
“Direksi BPJS Ketenagakerjaan harus segera berbenah di era new normal. Jika tidak segera bangkit, tidak teliti, tidak cekatan/responsif dan tidak kolaboratif dengan segenap stakehorders jaminan sosial ketenagakerjaan terkait, tentu akan semakin memperparah situasi,” pungkasnya.